Ogan Komering Ilir – (BIN) – Keputusan Bupati OKI menunjuk Sri Astuti, S.Pd, sebagai pucuk pimpinan di Sekolah Dasar Negeri 5 Pedamaran, kini berbuah kontroversi. Gelombang resistensi dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) LIBRA Indonesia menguat, mengancam aksi demonstrasi besar-besaran jika dugaan pelanggaran regulasi dalam proses penunjukan ini tak segera diurai.
Aroma kurang sedap menyeruak, memunculkan pertanyaan mendasar: apakah penunjukan ini murni didasari pertimbangan profesional, ataukah aroma nepotisme turut mewarnai kebijakan sang kepala daerah?
LSM LIBRA Indonesia, dengan Siti Aisyah sebagai nahkoda, lantang menyuarakan kegelisahannya. Indikasi ketidaksesuaian kualifikasi Sri Astuti dengan Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Permendikdasmen) Nomor 7 Tahun 2025 menjadi amunisi utama. Namun, yang lebih mengusik nurani adalah pernyataan kontroversial dari suami Sri Astuti.
Dilansir dari media StarInTI.Com, pernyataan tersebut seolah membuka tabir gelap di balik penunjukan ini.
“Kami jadi kepala sekolah bukan karena kami melamar, tetapi kami dapat SK dari Dinas Pendidikan,” ujarnya, memicu spekulasi liar bahwa penunjukan ini adalah titah langsung dari sang bupati, mengabaikan mekanisme dan prosedur yang seharusnya ditempuh.
Pernyataan ini kontras dengan narasi yang dibangun oleh Kabid SD Dinas Pendidikan OKI. Juga dilansir oleh StarInTI, sang Kabid berdalih bahwa golongan 3B bisa saja dipertimbangkan jika tak ada kandidat dengan golongan 3C yang memenuhi syarat. Namun, argumen ini terasa hambar mengingat SDN 5 Pedamaran bukanlah sekolah terpencil dengan minim sumber daya manusia.
Siti Aisyah menegaskan, “kami akan mempertanyakan langsung kepada Bupati OKI mengenai dasar penunjukan tersebut.”tegasnya
Tuntutan mereka sederhana: transparansi dan akuntabilitas. Jika tuntutan ini diabaikan, aksi demonstrasi dengan skala yang lebih besar akan digelar di depan gerbang kekuasaan, Kantor Bupati dan Dinas Pendidikan OKI.
Ironisnya, saat LSM LIBRA Indonesia berupaya mencari titik terang dari DPRD Kabupaten OKI Komisi IV, respons yang diterima justru bernada lepas tanggung jawab. Trisusanto, anggota komisi tersebut, memilih untuk melempar bola panas ke Dinas Pendidikan Kabupaten OKI.
“Terkait permasalahan golongan, silakan tanyakan langsung kepada Dinas Pendidikan Kabupaten OKI,” ujarnya, melalui via telpon dengan LSM libra seolah enggan mengusik sarang lebah.
Penunjukan ini bukan sekadar persoalan administratif, melainkan representasi dari potret buram tata kelola pemerintahan yang jauh dari ideal. Di pundak Bupati OKI kini bertumpu harapan masyarakat untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Akankah ia berani melawan arus, atau justru memilih untuk tunduk pada kepentingan sesaat? Publik menanti jawaban, sembari bertanya: di manakah marwah pendidikan jika kepentingan politik lebih mendominasi? Waktu akan menjadi hakim yang paling adil.
(TIM FWP)